Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan yang melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi.

Dalam artian tindak pidana secara luas, tindak pidana itu sebenarnya dibagi menjadi dua kata yaitu tindak dan pidana. Dalam ilmu hukum, kata tindak selalu memiliki hubungan dengan pidana. Tindak pidana sendiri bisa dikatakan sebagai kejahatan, tetapi kejahatan belum termasuk tindak pidana. Kejahatan sendiri dibagi menjadi 3 yaitu: terhadap nyawa , terhadap benda dan terhadap tubuh.

Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, corruption, corrupt, Perancis, corruption, dan Belanda, corruptie (korruptie). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda.Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
  1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,dan ketidak jujuran. 
  2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaanuang sogok, dan sebagainya. 
  3. Dapat pula berupa Korup (busuk; suka menerima uang suap uang/sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);,  Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);, Koruptor (orang yang korupsi).


Tindak Pidana Korupsi

Pengertian KKN ( Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)

Istilah “korupsi” seringkali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency International memberikan definisi tentang korupsi sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.

Jika kata perbuatan korupsi dianalisis maka dalam kalimat tersebut terkandung makna tentang suatu usaha untuk menggerakkan orang lain agar supaya melakukan sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (serta akibat yang berupa sesuatu kejadian). 

Dalam perbuatan penyuapan tersebut mungkin terdapat unsur memberi janji yang dalam perkataan lain sering disebut “dengan menjanjikan sesuatu, seperti yang termuat dalam Pasal 209 KUHP, yang berbunyi “diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyaktiga ratus juta rupiah (=15 kali)”.

Perbuatan korupsi pada dasarnya merupakan perbuatan yang anti sosial, bertentangan dengan moral dan aturan hukum, maka apabila perbuatan tersebut tidak dicegah atau ditanggulangi, akibatnya sistem hubungan masyarakat akan tidak harmonis dan akan berproses ke arah sistem individualisme, main suap dan yang semacamnya. 

Pada gilirannya mentalitas individu, kelompok atau sebagian masyarakat bangsa kita diwarnai oleh sikap culas, nafsu saling menguntungkan diri sendiri yang hal itu akan selalu dilakukan dengan segala macam cara.


Baca Juga :


Secara konstitusional pengertian tindak pidana korupsi disebutkan di dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, danNmepotisme, yang juga menyebutkan mengenai kolusi (pada Pasal 1 angka 4) dan nepotisme (pada Pasal 1 angka 5), yaitu sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. 

b. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

c. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 meliputi perbuatan cukup luas cakupannya. Sumber perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat di golongkan dalam dua golongan : 
  1. Perumusan yang di buat sendiri oleh pembuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 
  2. Pasal KUHP yang ditarik kedalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu : 
  1. Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara ( Pasal 2 ayat (1) ). 
  2. Setiap orang yang dengan tujuan mengungtungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padaaya karena jabatan, atau keduduksn yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3). 
  3. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji di anggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut(Pasal 13). 
  4. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15). 
  5. Setiap orang di luar Wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).

Memperhatiakan Pasal 2 ayat (1) di atas maka akan di temukan unsur- unsur sebagai berikut : 
  1. Melawan hukum. 
  2. Memperkaya diri sendiri atau orangg lain atau suatu korporasi. 
  3. Dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, unsur melawan hukum di mencakup perbuatan tersebut di anggap tercela karena tidaksesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibedakan menjadi : 
  1. Tindak pidana korupsi murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang merupakan murni perbuatan korupsi, perbuatan-perbuatan tersebut dalam Bab II Pasal 2 sampain Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. 
  2. Tindak pidana korupsi tidak murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidik, penuntut,dan pemeriksa di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maupun paara saksi ddalam perkara korupsi. Perbuatan tersebut di atur dalam Bab II Pasal 21 sampaai dengan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 
  1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 
  2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya; 
  3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 apabila dilihat dari sumbernya dapat di bagi menjadi dua, yaitu ; 
  1. Bersumber dari perumusan pembuatan Undang-Undang tindak pidana korupsi yaitu pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 16. 
  2. Bersumber dari pasal-pasal KUHP yang di tari menjadi Undang- Undang indak pidana korupsi yaitu Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.

Peraturan Perundang Undangan di Indonesia 

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Pengertian peraturan perundang-undangan menurut para ahli sendiri sangatlah beragam.

Seperti pendapat Bagir Manan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.

Tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 no UU No. 20 Tahun 2001. 

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. 

Ketiga puluhbentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut perinciannya adalah sebagai berikut : 1) Pasal 2; 2) Pasal 3; 3) Pasal 5 ayat (1) huruf a; 4) Pasal 5 ayat (1) huruf b; 5) Pasal 5 ayat (2); 6) Pasal 6 ayat (1) huruf a; 7) Pasal 6 ayat (1) huruf b; 8) Pasal 6 ayat (2), 9) Pasal 7 ayat (1) huruf a; 10) Pasal 7 ayat (1) huruf b; 11) Pasal 7 ayat (1) huruf c; 12) Pasal 7 ayat (1) huruf d; 13) Pasal 7 ayat (2); 14) Pasal 8; 15) Pasal 9; 16) Pasal 10 huruf a; 17) Pasal 10 huruf b; 18) Pasal 10 huruf c; 19) Pasal 11; 20) Pasal 12 huruf a; 21) Pasal 12 huruf b; 22) Pasal 12 huruf c; 22) Pasal 12 huruf d; 23) Pasal 12 huruf e; 24) Pasal 13 huruf e; 25) Pasal 12 huruf f; 26) Pasal.

Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut : 
  1. Kerugian keuangan Negara : Pasal 2, Pasal 3 
  2. Suap-menyuap : Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2),Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d. 
  3. Penggelapan dalam jabatan : Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal10 huruf b, Pasal 10 huruf c. 
  4. Pemerasan : Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf f 
  5. Perbuatan curang : Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b,Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h. 
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan : Pasal 12 huruf i 
  7. Gratifikasi : Pasal 12 B jo Pasal 12C

Berdasarkan uraian mengenai tindak pidana korupsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan moral dan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan dan/atau memperkaya diri sendiri dengan meyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya yang dapat merugikan masyarakat dan negara.

Pengaturan Hukum Pengembalian Asset Re-covery Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi 

Tindak pidana perbankan merupakan salah satu predicate offence dari tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang itu sendiri merupakan tindak pidana lanjutan (follow up crime). 

Keberadaan tindak pidana pencucian uang ini selalu diawali dengan keberadaan tindak pidana asal (core crime) seperti korupsi, kejahatan narkotika dan psikotropika, trafficking, illegal logging, penyuapan, pencurian dan sebagainya yang disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Korupsi sudah sangat meluas secara sistemik merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan pusat dan daerah, di semua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. 

Oleh karenanya, korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kasus korupsi di Indonesia merupakan konsumsi publik yang dapat diperoleh melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik.

Istilah “Pengembalian Aset” (Aseet Recovery) tidak diatur secaca eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Strategi pengembalian aset hasil korupsi merupakan terobosan besar dalam pemberantasan korupsi masa kini. Isu pengembalian aset hasil korupsi akan menghadapi masalah hukum tersendiri, baik secara konseptual maupun operasional.

Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, baik peraturan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maupun peraturan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Asset Recovery). 

Berkaitan dengan pengaturan pengembalian aset atau kerugian keuangan negara tersebut diatas, pemerintah Indonesia telah menerbitkan atau membuat berbagai peraturan yang dapat dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam proses dan upaya pemerintah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Upaya-upaya dimaksud diatur dalam: 
  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Anti Korupsi); 
  3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; 
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.

Asset recovery memiliki beberapa tujuan seperti memulihkan uang untuk mendanai program dan inisiatif pemerintah yang dapat membantu rakyat, memberikan keadilan bagi masyarakat, dan mencegah pejabat untuk terlibat dalam korupsi di masa yang akan datang.




Mekanisme Pengembalian Aset Negara oleh Terdakwa Tindak Pidana Korupsi 

Menurut Purwaning M.Yanuar Mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa; pengembalian aset melalui jalur pidana, pengembalian aset melalui jalur perdata, pengembalian aset melalui jalur administrasi atau politik. 

Proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagai aparat berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal dua mekanisme pengembalian aset, yaitu; pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan, serta pengembalian aset secara sukarela.

Terkait dengan hasil korupsi atau TPPU, maka tujuan dari penyitaan adalah untuk menjaga aset hasil tindak pidana tersebut agar tidak dihilangkan atau dimusnahkan atau dialihkan haknya oleh Terdakwa kepada pihak lain. 

Penyitaan terhadap barang-barang yang diduga hasil korupsi atau TPPU oleh KPK dilakukan dari hasil penyelidikan dan penyidikan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan maksud jika terdakwa bersalah atau barang tersebut terbukti dari hasil pidana korupsi, dapat dimintakan kepada Pengadilan agar barang tersebut dapat disita Negara. Selanjutnya Negara akan melakukan pelelangan, dimana hasil lelang barang sitaan tersebut dimasukan ke dalam kas negara.

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia"

Post a Comment