Sejarah dan Perkembangan Korupsi di Indonesia

Sejarah Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Korupsi menjadi kata yang sangat terkenal dan menjadi perbincangan mulai dari tingkat keluarga hingga negara. Di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, korupsi sudah menjadi pemberitaan umum. 

Kalangan yang terlibat sangat beragam, mulai dari masyarakat biasa, tokoh, agamawan, sampai pejabat, bahkan hampir semua kalangan menganggap bahwa korupsi sudah menjadi budaya. 

Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat sebagian besar masyarakat yang lunak, sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadaan yang demikian menyebabkan persoalan korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Sejarah dan Perkembangan Korupsi di Indonesia
Pixabay.com

Dilihat dari hal tersebut, wajar jika Indonesia selalu mendapat prestasi sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia, yaitu dengan peringkat nomor empat di dunia dan nomor satu di Asia Tenggara. Beberapa bukti mengenai korupsi yang terjadi di Indonesia ditunjukkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
  1. Dalam survey Political and Economic Risk Consultang Ltd (PERC) bulan Januari-Februari 2008 terhadap 900 ekspatriat di Asia, dinyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia. 
  2. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2007 diberi nilai 2.0 (termasuk tertinggi di dunia). 
  3. Kebocoran dana pembangunan dapat mencapai 50 % dan pungutan tidak resmi mencapai 30 % biaya produksi. 
  4. Dalam laporan BPK tahun 2004-2008 terlihat bahwa terjadi penyelewengan uang negara sebesar 166,5 triliun rupiah, dimana 144 triliun adalah merupakan pelanggaran BLBI. 
  5. Akhir tahun 2007, catatan ICW mengungkapkan kasus korupsi di berbagai daerah di Indonesia mencapai 450 kasus dan merugikan negara sebesar 6 triliun. 
  6. Hasil penelitian MTI menunjukkan semua lembaga institusi baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif telah melakukan korupsi secara berjama’ah (Suraji, 2015).

Selain data diatas, juga terdapat banyak sinyalemen dan fakta bahwa sikap dan tindak koruptif masih ada dan terus terjadi dirnana-mana yang sebagian bekerja secara sistematis dan terstrukrur dalam sistem kekuasaan dan sistem sosial masyarakat. 

Pemberantasan korupsi masih kerap dijadikan sebagai sekedar jargon politik dari suatu kekuasaan oleh sebagian kalangan, meskipun sebagian lainnya menjadikan pemberantasan korupsi benar-benar sebagai prioritas yang secara serius perlu dilakukan untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) gerakan reformasi atau perbaikan tata pemerintahan. 




Konteks yang menarik dalam persoalan korupsi di Indonesia dan upaya pemberantasannya adalah ketika justru pada saat yang sama tersinyalir bahwa perilaku dan tindak korupsi kian meningkat. Fakta ini mengakibatkan dua hal sekaligus. 
  1. Berkembang sikap fatalis yang menyimpulkan bahwa korupsi memang sulit diberantas dan sulit ditangani, sehingga sikap permisif untuk ikut melakukan korupsi meningkat. 
  2. Terdapat berbagai upaya kreatif untuk tetap membangun gerakan antikorupsi di dalam sistem sosial masyarakat dengan membentuk zona-zona antikorupsi. Dalam situasi saat ini perlu ada perlawanan korupsi sedini mungkin dari tingkat lebih kecil hingga yang besar, dari keluarga hingga negara (menurut Bambang Widjojanto (2005) dalam Suraji, 2008).

Persoalan korupsi tidak dapat dipisahkan dalam dinamika politik kekuasaan sebuah rezim. Kekuasaan politik menurut David Easton merupakaan satu-satunya bentuk kekuasaan yang memiliki daya paksa yang sah kepada masyarakat secara luas dan ketundukkan masyarakat akan terealisir karena rnemang rakyat memiliki kepentingan untuk menutupi keterbatasannya. 

Disamping itu, bentuk kekuasaan juga merupakan sesuatuhal yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif yang melingkupi rakyat dalam koridor negaranya. Senada dengan hal tersebut, Lord Acton mengemukakan pendapat bahwa power tends to comipt, absolut power comipts absolutely yang artinya kekuasan lebih memberikan kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan. 

Konteks pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa korupsi terjadi dalam lingkungan kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan politik suatu rezim yang berkuasa pada saat tertentu.

Sebagai sebuah persoalan besar yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa serta bagian dari kejahatan yang terorganisir, hampir semua orang berupaya untuk melawan korupsi, mulai dari pejabat, akademisi, aktivis, tokoh, agamawan, sarnpai masyarakat umum. 

Upaya tersebut walaupun seringkali hanya menjadi retorika politik tetapi sebagai bangsa kita tetap wajib untuk berusaha melawan korupsi.

Sejarah membuktikan bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah lama dilakukan oleh para penguasa, yaitu sejak masa kerajaan. Berbagai upaya dan strategi sudah diupayakan daliam pemberantasan korupsi antara lain_ditetapkannya peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi, munculnya lembaga anti korupsi sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, baik yang didirikan oleh Pemerintah, Lembaga Studi Perguruan Tinggi, NGO/LSM, maupun baik para akademisi, lembaga keagamaan, kyai/ustad dan tokoh masyarakat. 

Namun, banyaknya aturan perundangan dan badan anti korupsi tersebut ternyata tidak cukup menjamin bangsa ini terbebas dari korupsi.Justru yang terjadi adalah "patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu" seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah meluas.Semakin dibabat semakin cepat penyebarannya. 

Jangankan untuk membasmi korupsi, untuk menekan laju pertumbuhan korupsi saja tidak signifikan. Sikap pesimis dan sinis kerap mewarnai penilaian masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Perkembangan Budaya Korupsi di Indonesia

Budaya korupsi di Indonesia tumbuh serta berkembang melalui lima fase sejarah, yakni: masa kerajaan, masa penjajahan, masa orde lama, masa orde baru, dan sampai masa reformasi.

a. Perkembangan Budaya Korupsi Pada Masa Kerajaan

Pada masa ini budaya korupsi di Indonesia di prinsipnya, dilatar belakangi sang adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah warga Indonesia, terutama di zaman kerajaan-kerajaan kuno. 

Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. kemudian, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir menggunakan Haryo Penangsang, ada pula Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta serta kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis berita LIPI).

Hal menarik lainnya di fase zaman kerajaan ini ialah, mulai terbangunnya tabiat opurtunisme bangsa Indonesia.keliru satu misalnya adalah posisi orang suruhan pada kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”

Abdi dalem pada sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manisuntuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut juga yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu akbar pada tatanan pemerintahan kita dikemudian hari.

b. Perkembangan Budaya Korupsi Pada Masa Penjajahan

Pada masa penjajahan, praktek korupsi sudah mulai masuk serta meluas ke pada sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. 

Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial eksklusif. 

Mereka yang dinomort serta dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak berasal masyarakat, digunakan sang penjajah Belanda untuk memperkaya diri menggunakan menghisap hak dan kehidupan warga Indonesia. 

Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan intervensi dan penguasaan ini, menjadikankan orang Indonesia juga tidak segan menindas bangsanya sendiri lewat sikap serta praktek korupsi-nya.

c. Perkembangan Budaya Korupsi Pada Masa Orde Lama

Pada masa pemerintahan orde lama mulailah dibentuk gerakan perlawanan anti-korupsi, yang dilaksanakan dengan mulai disahkannya “Undang-Undang Keadaan Bahaya” pada masa tahun 60-an. Undang-Undang tersebut melahirkan Komisi Pemberantas Korupsi yang disebut dengan PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). 

Lembaga diketuai oleh Jenderal A.H. Nasution dengan dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Salah satu poin pentingnya adalah semua pejabat Negara diwajibkan mengisi Daftar Kekayaan Pejabat Negara. Namun apa yang tejadi kemudian adalah kondisi dimana ikhtiar tersebut akhirnya kandas tanpa hasil apa-apa.

Pada masa ini, setidaknya terdapat empat faktor penyebab kegagalan dalam pemberantasan korupsi antara lain sebagai berikut:
  1. Belum adanya kebijakan deviasi (kebijakan turunan) yang memungkinkan agen pelaksana kebijakan bisa menjalankan tugasnya dengan baik. 
  2. Adanya resistensi dari para pejabat negara (terutama yang diindikasikan korup) dengan cara menolak menyerahkan daftar kekayaannya kepada PARAN. 
  3. Tidak berkaitannya secara langsung antara strategi pemberantasan korupsi dengan sistem administrasi publik yang dipraktekkan. 
  4. Tidak adanya komitmen negara khususnya para pejabat untuk melawan dan memberantas korupsi.

Setelah lembaga yang diberi nama PARAN dibubarkan, Pemerintah orde lama selanjutnya mengeluarkan kebijakan baru yang dikemas dalam Keppres No.275 Tahun 1963 tentang pemberantasan korupsi. 

Untuk melaksankan Keppres tersebut pemerintah menunjuk lagi Jenderal A.H. Nasution sebagai ketuanya dengan tugas yang lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja hijau.

Jendral A.H. Nasution melakukan tugasnya dengan sandi “OPERASI BUDHI”. Sasarannya adalah BUMN dan lembaga-lembaga Negara yang dianggap rawan korupsi. Tetapi Keppres 275/1963 sebagai landasan pemberantasan korupsi juga tidak dilaksanakan secara efektif. 

Penyebab dari kegagalan Keppres tersebut antara lain adalah, adanya resistensi birokrasi dan pejabat Negara yang dekat dan kong kalingkong dengan presiden. 

Akhirnya pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi yang diback-up Keppres tersebut gagal. Sampai Pemerintah Orde Lama tumbang, pemberantasan korupsi tidak membuahkan hasil yang berarti.

d. Perkembangan Budaya Korupsi Pada Masa Orde Baru 

Pada masa orde baru pemberantasan korupsi juga tidak jauh dari orde lama. Bahkan pada masa ini malah justru semakin merajalela dan merasuk ke semua lini kehidupan dan pemerintahan. 

Pemberantasan korupsi tidak lebih dari sekedar retorika politik belaka. Retorika itu diawali dengan pidato Soeharto (sebagai presiden) di depan DPR/MPR pada tanggal 16 agustus 1967 yang menyatakan akan membasmi korupsi hingga ke akar-akarnya. Kemudian dibentuklah TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). 

Tetapi TPK tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demontrasi mahasiswa dan pelajar secara besar-besaran di tahun 1970, yang menutut dan mendesak Soeharto memenuhi janjinya untuk lebih serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog, dan Departemen Kehutanan. 

Hal inilah yang kemudian memunculkan inisiatif dibentuknya lembaga “Komite Empat”. Lembaga Komite Empat juga tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga pemerintah orde baru menggerakan operasi yang diberi nama “OPSTIB” (Operasi Tertib) yang dipimpin oleh Laksaman Sudomo. 

Kegagalan pemberantasan korupsi yang semakin nyata di era rezim Orde baru diwarnai oleh lahirnya berbagai peraturan perundangan yang sengaja dibuat untuk melindungi para koruptor agar bebas dari jeratan hukum.

Kegagalan pemberantasan korupsi di masa Orde Baru secara nyata juga mencerminkan belum adanya strategi dan kebijakan pemberantasan korupsi yang komprehensif (seperti orde lama), sehingga penanganan yang dipraktekkan seakan-akan tidak memiliki nilai yang dapat mencegah potensi terjadinya korupsi ditubuh birokrasi. 

Lebih dari itu, strategi pemberantasan korupsi yang dibuat tidak didasarkan pada kebijakan yang jelas, yaitu kebijakan yang menitikberatkan upaya pencegahan potensi terjadinya korupsi birokrasi, tetapi lebih diwarnai oleh kepentingan politik jangka pendek.(Hakim, 2014)

e. Perkembangan Budaya Korupsi Pada Masa Reformasi

Pemerintah di era reformasi (yang dilahirkan dari gerakan massa secara nasional untuk menyelamatkan Indonesia dari praktek KKN) didesak untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih serius. 

Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. 

Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya. Selain itu ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur. 

Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya. 

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). 

Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kemudian di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), disamping melanjutkan gebrakan presiden sebelumnya, SBY juga melakukan gebrakan dengan membentuk TimTasTipikor (Tim Pemberantas Tindak Korupsi) berdasarkan Keppres No.61 Tahun 2005. 

Lembaga ini mengemban misi melakukan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan. Dengan demikian, maka dimasa pemerintahan SBY, Indonesia pernah mempunyai dua kelembagaan anti-korupsi yaitu KPK dan TimTasTipikor. 

Namun dalam perkembangannya pada pertengahan tahun 2007 lembaga TimTasTipikor dibubarkan dan fungsinya dijalankan oleh lembaga peradilan umum.

Keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional. 

Kinerja KPK untuk memberantas korupsi sangat menonjol, bahkan telah membawa efek jera. Sampai tahun 2006, banyak pejabat Negara yang korup diseret ke meja hijau. Beberapa kasus korupsi besar berhasil diungkap oleh KPK

Berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penguasa sejak Orde Lama hingga SBY-JK secara kasat mata belum menunjukkan hasil yang gemilang, hal ini muncul kewajaran apabila korupsi dikaitkan dengan sistem politik dan birokrasi yang korup, sehingga membentuk budaya di tengah masyarakat yang menganggap korupsi adalah masalah biasa, bukan sebagai kejahatan atau bencana bagi negara. 




Upaya kesadaran korupsi sebagai kejahatan baru sadari sefak era reforrnasi 1998 dengan disahkannya Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. 

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuklah berbagai badan anti-korupsi, antara lain; KPKPN, KPPU dan KOMISI ONIBUSDMAN dan kernudian disahkannva Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Sebagai awal yang baik untuk memulai upaya pemberantasan korupsi pada eta saat ini dibutuhkan kerja keras semua pihak, tidak hanya KPK tetapi juga semua elemen bangsa untuk terlibat langsung dalam pemberantasan korupsi. Hal ini diharapkan dapat menghilangkan pemahaman bahwa korupsi merupakan warisan sejarah dan budaya masyarakat Indonesia.



Itulah pembahasan materi mengenai Sejarah dan Perkembangan Korupsi di Indonesia yang mimin ambil dari makalah mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi. Semoga bermanfaat dan mudah untuk dipahami yah temen-temen. Jangan lupa selalu berusaha dan berdoa untuk apa yang dicita-citakan. Terima kasih semuaa . . .

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah dan Perkembangan Korupsi di Indonesia"

Post a Comment