KORUPSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM, KRISTEN, HINDU, BUDDHA, DAN KONGHUCU

Pengertian Korupsi dalam Hukum Agama Islam

Dalam khazanah hukum Islam, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha’ berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-batil) seperti yang diharamkan dalam Al-Qur’ān, tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi, maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap.

Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan dimuka bumi, yang juga amat dikutuk Allah SWT.

Dalil-dalil yang dapat dirujuk untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum korupsi adalah QS. Ali ‘Imrān [3] ayat 161, hadis riwayat Abū Dāwud dari ‘Umar bin Khattab, hadis riwayat al-Bukhari dari Abi Hamid al-Sa‘idi, dan juga hadis riwayat al-Turmuzi dari ‘Abdullah bin ‘Amar.

Dari beberapa dalil di atas, walaupun bukan khusus berbicara tentang korupsi, namun sejumlah praktek atau bentuk korupsi yang terjadi menyerupai dengan apa yang digambarkan dalam dalildalil tadi, misalnya penyalahgunaan wewenang, suap menyuap, dan juga penipuan. Dari makna zahir nas-nas tersebut bisa dipahami bahwa segala bentuk korupsi itu hukumnya haram.

Sabda Rasulullah lainnya yang bisa dijadikan pijakan sebagai dalil korupsi, karena di dalamnya ikut mengandung sebagian dari bentuk korupsi, adalah hadis yang dari ‘Adī bin ‘Umayrah al-Kindī, hadis dari Abū Hurayrah, dan hadis dari Abī Humayd al-Sā‘adī.

Sebagian ulama memahami makna hadis ini sebagai suatu perumpamaan. Maksudnya, orang melakukan penggelapan (korupsi) kondisinya di hari kiamat nanti diumpamakan dengan keadaan seseorang yang memikul apa saja yang dikorupsinya. 

Ia merasa kesulitan akibat beban dosa-dosanya, tidak ada seorang pun yang mau membantunya, dan ia merasa terhina karena tak ada seorang pun yang mau peduli kepadanya.

Bila dilihat dalam sudut pandang kebahasaan, maka secara zahir dari hadis-hadis yang telah disebutkan hanya membicarakan tentang konteks ghulūl dan risywah. Namun hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud menyatakan bahwa pelaku ghulūl (korupsi) itu dikenakan hukuman berupa dibakarnya harta ghulul, dan pelakunya dipukul. 




Bilamana berpegang pada hadis ini, maka bagi pelaku korupsi itu harus dikenakan hukuman pemukulan dan harta hasil korupsi harus dimusnahkan dengan membakarnya. Kalau begitu halnya, maka korupsi dalam bentuk ini bisa dikategorikan kepada hukuman had, karena jenis pelanggaran dan bentuk hukumannya sudah ditentukan oleh nas, dalam hal ini hadis nabi.

Hanya satu hadis saja yang berbicara demikian (dibakar harta dan dipukul pelakunya), sedangkan banyak hadis lain yang berbicara tentang ghulūl tetapi Rasulullah tidak memerintahkan untuk membakar harta hasil dari perbuatan tersebut, begitu juga pelakunya tidak diperintahkan untuk dipukul.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan dari Jābir, “penipuan, perampasan, dan pencopet tidaklah dikenai hukuman potong tangan.” Secara zahir dari hadis ini dapat dipahami bahwa perbuatan yang meliputi penipuan, parampasan, dan pencopetan tidak bisa dikenakan hukuman potong tangan. 

Itu artinya perbuatan tersebut tidak bisa disamakan dengan kejahatan pencurian. Beranjak dari fakta itu, maka korupsi yang terjadi yang bentuknya berupa penipuan, perampasan dan pencopetan tidak bisa disamakan dengan sirqah (pencurian), karena itu bentuk-bentuk korupsi tersebut tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada tindak pidana pencurian.

Dalam konsepsi hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai jarimah sirqah (pencurian). Hal ini disebabkan oleh beragamnya praktek korupsi itu sendiri yang umumnya tidak masuk dalam definisi sirqah. 

Namun jika dalam satu kasus tindak pidana korupsi telah sesuai dengan ketentuan sirqah, maka tidak diragukan lagi ia terkena ketentuan had sirqah dan pelakunya dikenakan hukum potong tangan. Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, dengan lugas mengkategorikan bahwa jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirth mithl) maka itu dikategorikan sebagai pencurian. 

Jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, maka dinamakan merampok (muhārabah), jika ia mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilās), dan jika ia mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyānah.

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA

Klasifikasi Korupsi dalam Hukum Islam

Korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada kategori khiyānah atau ghulūl (pengkhianatan), al-ghasy (penipuan), dan risywah (suap).

a. Khiyanah (pengkhianatan)

Khiyānah secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi jahat (syar). Menurut al-Raghib al-Isfahānī, seorang pakar bahasa Arab, khiyānah adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. 

Ungkapan khiyānah juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu‘amalah. Jarīmah khiyānah terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis maupun harganya sedikit maupun banyak. 

Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati, Rasulullah melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula. Hal ini sebagaimana disinggung dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Abū Dawud.

b. Al-Ghasy (penipuan)

Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadnya, karena nas belum menerangkan bentuk sanksi kepadanya secara kongkret, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis. Oleh karena itu, penentuan sanksi hukumannya kembali kepada jarimah ta‘zīr, yang membutuhkan ijtihād hakim dalam memutuskan hukum terhadap pelakunya. Istilah al-ghasy dalam bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur dengan barang-barang baik dengan yang jelek.

c. Al-risywah (suap)

Secara harfiah, suap (risywah) berarti “batu bulat” yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. 

Menurut Ibrahīm al-Nakha’ī, suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran. Syaikh ‘Abd al-‘Azīz bin ‘Abd Allāh bin Baz mendefinisikan suap dengan memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan maslahat (tugas/kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip. 

Sedangkan menurut terminologi fikih, suap adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan)nya atau agar ia mengikuti kemauannya. 

Al-Sayyid Abū Bakr mendefinisikan risywah dengan “memberikan sesuatu agar hukum diputuskan secara tidak benar/tidak adil, atau untuk mencegah putusan yang benar/adil.” Definisi yang lebih kurang sama diberikan oleh al-Jurjāni. Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah dalam surat al- Mā’idah [5]: 42.

d. Al-hirabah (Perampasan)

Dalam Surat al-Ma’idah [5]: 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang hirabah dan sirqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan ayat kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam. 

‘Abd al-Qadir ‘Awdah mendefinisikan hirabah sebagai perampokan atau pencurian besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sirqah) memang tidak sama persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak lebih besar karena dilakukan dengan berlebihan. 

Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa pengambilan harta.

e. Al-ghasab (Penggunaan hak orang lain tanpa izin)

Termasuk dalam kategori korupsi adalah ghasab. QS. al-Kahfi [18]: 79 menceritakan seorang raja yang dhalim yang akan mengambil kapal dari orang-orang miskin dengan jalan ghasab. 

Seorang raja dhalim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal (ghasab) oleh raja yang zalim tersebut. 

Pengertian ghasab adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan dengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghasab dilakukan dengan terangterangan sedangkan ketika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian. 

Hanya ghasab ini kadang berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada pemiliknya

Korupsi dalam Hukum Agama Kristen

Kitab Suci Bibel atau Alkitab adalah pedoman dan sumber ajaran agama Kristen yang melarang untuk melakukan pencurian atau korupsi. Sebagaimana yang tertera dalam “Ten Commandments” atau sepuluh perintah yang salah satunya perintah jangan mencuri. 

Sepuluh perintah ini, terdapat dalam Kitab keluaran dan ulangan yang melarang supaya jangan mencuri. Bahkan ditegaskan dalam Kitab Imamat sebagai berikut “Janganlah kamu mencuri, jangan kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada sesamanya” [Kitab Imamat, 19: 11].

Korupsi dalam Hukum Agama Hindu

Kitab Suci Weda adalah pedoman dan sumber ajaran agama Hindu yang melarang melakukan pencurian atau mengkorupsi harta benda milik orang lain, maka harus dihukum dengan keras dan yang menghukum adalah para Pandita yang tidak diragukan integritasnya, pencuri, orang berdosa dan musuh [negara] seharusnya dihukum berat. Hukuman bagi pencuri atau korupsi menurut Kitab Veda harus dipotong kaki, tangan dan kepalanya. 

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Atharvaveda sebagai berikut. “Yo adya stena ayati, aghayur martyo ripuh, pra griva pra iro hanat” [Atharvaveda, XIX.49.9]. Artinya “Potong kepala dan leher seorang pencuri, orang berdosa dan musuh” [Atharvaveda, XIX.49.9]. 

"Pra padau na yathayati pra hastau na yathasisat” [Atharvaveda, XIX.49.10]. Artinya “Potonglah kaki dan tangan seorang pencuri sehingga dia tidak bisa hidup lebih lama” [Atharvaveda, XIX.49.10].

Korupsi dalam Hukum Agama Buddha

Kitab Suci Tripitaka adalah pedoman dan sumber ajaran agama Buddha yang melarang melakukan kejahatan dengan mencuri yang menyebabkan kemiskinan dan kesengsaran orang lain. 

Melakukan pencurian atau korupsi adalah perbuatan jahat, buruk dan dosa, bahkan Buddha Gotama menyatakan dalam Majjhima 117 bahwa pencurian akan menjadi tidak benar ketika mata pencariannya dimanfaatkan untuk menipu [kuhana], membual [lapana], memeras [memittakata], dan merampok agar mendapat hasil yang banyak. 

Di samping itu, mencuri atau korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dan disadarkan. Sebagaimana Buddha Gotama bersabda. “Bila seseorang berbuat jahat, hendaklah ia tidak mengulang-ulangnya lagi dan jangan merasa senang akan perbuatan itu. Penderitaan adalah akibat dari memupuk perbuatan jahat” [Dhammapada, IX. 117]. 

Kemudian ditegaskan lagi dengan sabdanya. “Ketika si dungu melakukan kejahatan, tidak disadarinya petapa buruk perbuatan itu. Ia akan tersiksa oleh [akibat] perbuatannya sendiri, seperti orang terbakar api” [Dhammapada, X. 136].

Korupsi dalam Hukum Agama Konghucu

Kitab Suci Si Shu atau Su Si adalah pedoman dan sumber ajaran agama Khonghuchu yang melarang melakukan perbuatan yang tidak terhormat dengan jalan mengumpulkan kekayaan dengan cara mencuri atau korupsi yang mengakibatkan kemiskianan dan sia-sia belaka. 

Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Thian. “Maka menimbun kekayaan itu akan menimbulkan perpecahan di antara rakyat, sebaliknya tersebarnya kekayaan akan menyatukan rakyat. 

Maka kata-kata yang tidak senonoh itu akan kembali kepada yang mengucapkan, begitu pula kekayaan yang diperoleh dengan tidak halal itu akan habis dengan tidak karuan” [DA XUE, X. 9-10]. “Nabi bersabda, kaya dan berkedudukan mulia ialah keinginan tiap orang, tetapi bila dapat dicapai denan jalan suci, janganlah ditetapi. 

Miskin dan berkedudukan rendah ialah kebencian tiap orang, tetapi bila tidak dapat disingkiri dengan jalan suci, jangan ditinggalkan” [LUN YU, IV: 5].




Usaha untuk Menyelesaikan Korupsi

Agar kita terhindar dari melakukan korupsi, ada baiknya kalau kita bersama-sama melakukan tindakan preventif-antisipatif dan berjaga-jaga dengan sekuat usaha dengan cara melatih diri, menahan, mengendalikan bahkan mengekang nafsu dengan langkah-langkah dan kiat-kiat sebagai berikut;
  1. Memulai kehidupan dengan niat yang ikhlas hanya “karena” dan “untuk” Allah. Jadi hidup kita tidak tertekan, karena kalau jiwa seseorang sering tertekan karena tidak kuat dengan keadaan maka jiwa akan mudah goyah, kalau tidak kuat imannya akan cenderung melakukan hal-hal yang dilarang demi mencapai tujuan
  2. Menyikapi kehidupan dunia berdasarkan ajaran ilahi
  3. Mengendalikan nafsu syahwat yang berlebihan terhadap harta. Ini yang paling membuat seseorang silau dan lupa diri sehingga menempuh cara-cara yang tidak benar
  4. Menjaga pikiran yang terlintas untuk bermaksiat (al-khatarat), dan menjaga langkah nyata untuk berbuat maksiat (al-khutuwat)
  5. Tawakkal setelah berusaha sungguh-sungguh (maksimal)
  6. Mensyukuri nikmat harta yang ada dengan mengembangkannya untuk kebaikan umat, dan melaksanakan kewajiban berzakat, infaq, sedekah dan sebagainya
  7. Sabar menghadapi ujian (fitnah) harta, karena harta terkadang menjadi fitnah bagi pemiliknya
  8. Rida terhadap ketetapan (qada) dari Allah. Segala yang terjadi pada diri kita sudah ditetapkan oleh Allah,manusia hanya diwajibkan untuk selalu dalam kebaikan-kebaikan sedangkan hasilnya sudah ditetapkan oleh Allah sendiri
  9. Menumbuhkan rasa takut (khauf) kepada Allah dimanapun berada. Kalau kita selalu merasa diawasi oleh Allah, tentu perilaku kita akan selalu di jalan-Nya
  10. Membentuk sikap jujur dalam diri
  11. Menumbuhkan sifat malu
  12. Selalu intropeksi diri (muhasabah)
  13. Selalu mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah Allah)
  14. Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah (mahabbah Allah)
  15. Selalu memperbarui tobat.

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KORUPSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM, KRISTEN, HINDU, BUDDHA, DAN KONGHUCU"

Post a Comment