Korupsi Dalam Perspektif Politik: Pengertian, Bentuk, dan Upaya Pencegahan

Korupsi Dalam Perspektif Politik
Pixabay.com

Pengertian Korupsi Menurut Perspektif Politik

Korupsi merupakan suatu penyakit berbahaya yang menyerang seluruh struktur pemerintahan dan kenegaraan yang mencakup struktur budaya, politik dan ekonomi masyarakat, dan merusak fungsi-fungsi negara yang vital tersebut. Beberapa para ahli berpendapat mengenai definisi dari korupsi politik diantaranya:

Menurut Achiavelli

Achiavelli menyatakan bahwa korupsi politik merupakan proses dimana kebaikan warga negara diabaikan dan bahkan dirusak. Ia menyatakan bahwa bahkan individu terbaik dapat disuap oleh ambisi kecil dan keserakahan karena manusia tidak pernah puas.

Menurut Baron de Montesquieu

Baron de Montesquieu menyatakan korupsi politik merupakan suatu proses disfungsional terhadap perintah politik kebaikan (monarchy) karena ketika hal ini dikorupsikan, hal ini berubah menjadi suatu kejahatan (kelaliman).

Dari definisi para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi politik merupakan setiap transaksi diantara pelaku sektor swasta dan publik melalui barang-barang kolektif yang melanggar hukum yang diubah ke dalam hadiah untuk kepentingan pribadi. 

Kritik terhadap definsi ini yaitu definisi ini tidak membedakan dengan jelas antara korupsi politik dan korupsi birokrasi. Definisi ini menjelaskan keterlibatan utama negara dan badan negara dalam korupsi, namun tidak menjelaskan tentang level otoritas dimana korupsi terjadi. 

Dalam definisi yang lebih tegas, korupsi politik mencakup pembuatan kebijakan politik. Korupsi politik atau korupsi besar terjadi pada sistem politik tingkat tinggi. Korupsi politik terjadi ketika politisi dan badan negara yang berhak membuat dan menegakkan undangundang dalam nama masyarakat merupakan mereka yang melakukan korupsi. 

Korupsi politik terjadi ketika pembuat keputusan politik menggunakan kekuasaan politik yang dipegang oleh mereka untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Kemudian, korupsi politik dapat dibedakan dari korupsi birokrasi atau korupsi kecil, dimana korupsi dalam administrasi negara, dalam implementasinya diakhiri oleh politik.

Korupsi politik tidak hanya mengacu pada penyalahgunaan sumber daya, tetapi juga mempengaruhi cara keputusan itu dibuat. Korupsi politik merupakan manipulasi institusi politik dan peraturan prosedur, dan oleh karena itu, hal ini mempengaruhi institusi pemerintah dan sistem politik, dan hal ini sering mengakibatkan kerusakan institusional. 

Oleh karena itu, Korupsi politik merupakan sesuatu yang lebih dari pada penyimpangan dari norma-norma formal dan hukum tertulis, dari kode etik profesional dan peraturan peradilan. Korupsi politik terjadi ketika undang-undang dan regulasi lebih kurang disalahgunakan secara sistematis oleh penguasa, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang agar sesuai dengan kepentingan mereka.

Korupsi politik merupakan penyimpangan dari nilai hukum rasional dan prinsip negara modern, dan permasalahan dasarnya merupakan lemahnya akuntabilitas diantara pemerintah dengan yang diperintah. Secara khusus di negara otoriter, dasar hukum terhadap praktek korupsi selalu dievaluasi dan dinilai lemah dan lebih jauh benar-benar menjadi subjek pelanggaran hukum oleh penguasa. 

Oleh karena itu Kerangka kerja hukum formal negara tidak memadai sebagai kerangka acuan untuk mengevaluasi dan menilai permasalahan korupsi politik. Alat ukur moral, normatif, etika, dan bahkan politik, akan dilaksanakan, sekurang-kurangnya, bukan karena hal tersebut penting untuk melihat legalitas dari legitimasi ketika hal tersebut menjadi korupsi politik. 

Selain itu, sebaliknya secara normal korupsi birokrasi dapat terkait dengan pengauditan, peraturan perundang-undangan, dan pengaturan kelembagaan, korupsi politik akibat kemerosotan tidak dapat diberantas hanya dengan pendekatan administratif. 

Endemi korupsi politik membutuhkan reformasi politik radikal. Korupsi politik (selalu didukung oleh tersebar luasnya korupsi birokrasi atau korupsi kecil) harus semakin dipertimbangkan sebagai satu bentuk dasar pelaksanaan rezim otoriter. 

Hal ini merupakan satu mekanisme melalui pemegang kekuasaan otoriter yang memperkaya diri mereka sendiri. Dalam konteks ini korupsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit sehingga politisi yang bertanggungjawab tidak memiliki keinginan untuk menghindarinya, namun korupsi politik dilakukan dengan sengaja, diinginkan dan terbuka kesempatan untuk melakukannya.

Bentuk-Bentuk Korupsi Dalam Perspektif Politik

Bentuk- bentuk dari korupsi dalam Perspektif politik diantaranya:

1. Penyuapan 

Penyuapan merupakan suatu pertukaran yang rahasia dan tidak bertanggung jawab. Penyuapan yang terjadi di berbagai negara lebih bersifat kuantitatif daripada struktural. Leinrock berpendapat bahwa warga negara (koruptor) yang tidak suka mengantri, membayar penyuapan setelah ia melihat panjangnya antrian (tidak sabar), oleh karena itu, ia ingin dan secara ekonomi mampu membayar suap bagi tempat dalam antrian di depan orang yang membayar suap lebih kecil tetapi di belakang orang yang membayar suap lebih besar.

2. Trading in Influence 

Warga negara (koruptor) terlibat dalam bentuk pertukaran ilegal sebagai suatu strategi untuk mempertahankan hubungan setiap hari dengan institusi publik, sebagaimana pada saat ini telah dikonfirmasi oleh Miller, Grodeland dan Koshechkina Pada saat proses trading in influence ini pejabat publik (truster) menjamin pelaksanaan pertukaran sebagai hasil pertukaran korupsi.

3. Pembelian Suara 

Para pemimpin politik atau calon legislatif percaya bahwa untuk memenangkan pemilu tidak jarang harus membeli suara rakyat. Hal ini terjadi karena mereka menganggap pembelian suara ini merupakan suatu strategi yang digunakan oleh partai politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

4. Nepotisme/Patronage

Tujuan nepotisme adalah untuk membantu kerabat ditunjuk agar ditempatkan pada suatu jabatan atau pekerjaan tertentu, sedangkan dalam patronage untuk membantu orang lain/bukan kerabat agar ditempatkan pada suatu jabatan atau pekerjaan tertentu. Namun, kata membantu ini memiliki arti negatif yaitu membantu dengan cara yang tidak benar.

5. Pembiayaan Kampanye

Dukungan politik uang dalam pemilu masih menuai pro kontra dikalangan masyarakat. Ada yang berpendapat dukungan politik uang merupakan pelanggaran pidana serta hal ini merupakan ekspresi dari perhatian pribadi atau dukungan politik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada sepuluh potensi korupsi yang akan terjadi dalam Pilkada serentak 2018. Sepuluh permasalahan ini dinilai menjadi masalah laten yang kerap terjadi sejak Pilkada serentak digelar pada 2015.

Untuk mengantisipasi hal hal yang tidak diinginkan terjadi pada saat pemilu maka Indonesia Corruption Watch (ICW) merekomendasikan:
  1. Kementerian Keuangan, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi untuk mengantisipasi politasi dana desa, salah satunya dengan mengawasi pencairan dana desa tahap II di daerah-daerah Pilkada.
  2. Kementerian Keuangan, Kemendagri dan KPK untuk memonitor penggunaan belanja Bansos tingkat pusat dan daerah, khususnya daerah yang kepala daerah, dinasti dan pejabatnya maju dalam Pemilu.
  3. KemenPAN dan RB untuk mengingatkan larangan ASN terlibat dalam proses pemenangan Pemilu.
  4. Panglima TNI dan Kapolri untuk menjaga integritas jajaran di bawahnya agar tidak memihak calon kepala daerah tertentu, sekalipun calon tersebut berasal dari TNI/Polri.
  5. KPK memonitor secara khusus daerah-daerah rawan dalam Pemilu, khususnya daerah kaya sumber daya alam dan daerah dengan petahana atau dinasti maju dalam pilkada.
  6. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menginstruksikan jajarannya di bawahnya untuk mulai menyusun data pembanding pengeluaran dana kampanye saat melakukan pengawasan lapangan, mengingat UU Pilkada telah mengatur sanksi pidana terhadap pelaporan dana kampanye yang tidak benar, yaitu Pasal 187 ayat 7 dan 8 UU Pilkada.
  7. Kandidat Pemilu dan partai politik untuk berkomitmen menjaga integritas Pilkada dengan tidak menggunakan modal ilegal dalam Pemilu dan bersaing secara sehat.
  8. Masyarakat sipil untuk aktif berpartisipasi dalam Pemilu, tidak hanya sebagai pemilih tetapi sebagai pemantau

Upaya Pencegahan atau Pemberantasan Terjadinya Korupsi Politik di Indonesia

Dalam hal upaya pencegahan atau pemberantasan terjadinya korupsi politik di Indonesia maka perlu:
  1. Disusun regulasi atau pengaturan keuangan partai politik dan pendanaan kampanye sehingga terwujud suatu sistem keuangan partai politik yang transparan dan akuntabel untuk menghindari pengumpulan dana dari berbagai sumber akibat besarnya biaya politik di Indonesia.
  2. Negara Indonesia dapat mencontoh negara-negara demokrasi di Eropa yang memberikan bantuan dana yang memadai kepada partai politik agar dapat membiayai kebutuhan operasional partai dan bersaing dalam kampanye Pemilu.
  3. Memperhatikan kesejahteraan pejabat publik karena tugas-tugas pejabat publik yang besar dan banyak “godaan” membutuhkan dana yang besar pula untuk menghindari pejabat publik melakukan transaksi yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
  4. Pengawasan melekat dan pengawasan rutin dan regular baik dari dalam institusi maupun dari luar institusi sangat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan terhadap penggunaan uang dan kekayaan negara
  5. Pemerintah harus menambah anggaran untuk penindakan dan pencegahan korupsi sehingga kedua fungsi pemberantasan korupsi ini dapat dilakukan secara simultan. Aparatur negara, pejabat publik dan masyarakat sangat perlu diberikan pendidikan anti korupsi yang dilakukan secara bereksinambungan.
  6. Penegakan hukum tetap harus dilakukan untuk memberikan efek jera setiap orang tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Korupsi Dalam Perspektif Politik: Pengertian, Bentuk, dan Upaya Pencegahan"

Post a Comment