Kriteria Kesahihan Dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran

Kesahihan Dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran

1. Kriteria Kesahihan Hadis 

Kata sahih dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata al-saqim yakni orang yang sakit, seolah-olah dimaksudkan hadis sahih adalah hadis yang sehat dan benar-benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Adapun menurut istilah Hadis shahih adalah: 

مَا اتصََّلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابطِِ عَنْ مِثلِْهِ  إلى مُنْتهََاه ُ مِن غَيْرِ شُ ذوُْذِ وَ لَ عِلَّ ٍ  

Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sampai kepada perawi terakhirnya, serta tidak ada kejanggalan dan maupun cacat (al-Thahhan, t.th: 30) 
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, sebuah hadis dinilai sahih jika memenuhi lima kriteria berikut, yaitu: 
a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) 
b. Moralitas para perawinya baik 
    (’adalah al-ruwwat) 
c. Intelektualitas para perawinya mumpuni 
    (dhabt al-ruwwat) 
d. Tidak janggal (’adam al-syudzudz) 
e. Tidak cacat (’adam al-’illah) 

Berikut merupakan penjelasan dari ke enam poin di atas adalah sebagai berikut :




a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) 

yang dimaksud sanadnya bersambun adalah seluruh mata rantai periwayatnya dari setiap generasi ke generasi yakni nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ altabi’in tersambung tanpa ada satupun yang terputus. Jika ada satu mata rantai saja terputus atau diragukan ketersambungannya karena perawi satu dengan berikutnya tidak pernah bertemu tetapi hanya menyandarkan saja, maka kualitasnya bisa dipastikan tidak akan mencapai derajat sahih. 

b. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat)

Kualitas perawi harus ‘adil. Ini bukanlah maksud adil dalam definisi bahasa Indonesia. ‘Adil dalam istilah ulum al-hadits adalah kondisi perawi yang beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah (Ismail, 1992: 129-134)

c. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat )

Dhabt yang merupakan kualitas intelektual personal perawi. Secara harfiah, dhabt berarti kokoh, kuat dan tepat. Sedang secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi terhadap hadis yang diterimanya secara sempurna, mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan tepat dan mampu memahaminya dengan baik. Muhammad Ibn ‘Alawi menyebutkan bahwa dhabt terbagi dua, yakni dhabt shadr, yaitu kekuatan hafalan yang dibuktikan dengan kemampuan melafalkan hadis  yang dikuasainya kapanpun; dan dhabt kitabah yaitu kekuatan tulisan yang dibuktikan dengan buku yang dia miliki (Al-Maliki, t.th: 26). 

d. Tidak janggal (’adam al-syudzudz

Tidak boleh ada syadz (kejanggalan). Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip al-Naisaburi menjelaskan bahwa kejanggalan dalam periwayatan adalah apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, namun bertentangan dengan mayoritas riwayat lain yang juga thiqah (al-Naisaburi, t.th: 199). 

e. Tidak cacat (’adam al-’illah)

Tidak boleh ada ‘illat (kecacatan). Cacat dalam periwayatan hadis, bisa berupa sanad yang tampak tersambung dan sampai kepada Nabi, namun pada kenyataannya hanya sampai kepada sahabat atau tabi’in. 

Kecacatan juga bisa juga terjadi berupa kerancuan karena percampuran dengan hadis lain atau kekeliruan dalam menyebutkan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda (Ismail, 2007: 85).  

Seluruh lima kriteria tersebut harus terpenuhi agar sebuah hadis dinilai sahih. Jika satu kondisi seluruhnya terpenuhi, hanya saja pada syarat ketiga yakni kualitas intelektual personal perawi (dhabt) tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitas hadisnya bisa menjadi hasan. 

Namun, apabila ada salah satu syarat atau kriteria tidak terpenuhi, seperti terputus sanadnya atau didapati perawi yang benar-benar lemah atau juga terdapat kejanggalan maupun kecacatan, maka kualitas hadisnya bisa berkategori dha’if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu). 

2. Fungsi Hadis terhadap Al-Quran 

Secara umum fungsi hadis adalah sebagai penjelas (bayân) terhadap  makna  Alquran yang umum, global dan mutlak.  Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Nahl ayat 44:  

وَأنَْزَلْنَا إِليَْكَ الذِ كْرَ لِتبَُيِ نَ لِلناَّسِ مَا ن زُِلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلهَُّمْ يَتفََكَّرُونَ  

Artinya:  
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”, 
Secara lebih rinci fungsi penjelasan (bayân) hadis terhadap Alquran, dikelompokkan sebagai berikut: 

a. Bayan Taqrir  

Posisi hadis sebagai penguat (taqrir/ta’kid)  keterangan Alquran.  Artinya Hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan Alquran, salah satunya tentang larangan memakan harta anak yatim sebagai berikut: 

حَدثَّنََا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللََِّّ قَالَ حَدثَّنَِي سُليَْمَانُ بْنُ بِلََلٍ عَنْ ثوَْرِ بْنِ زَيْدٍ الْمَدنَِ يِ عَنْ أبَيِ الْغيَْثِ عَنْ أبَِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللََُّّ عَنْهُ عَنْ النبَّ يِِ صَلىَّ اللََُّّ عَليَْهِ وَسَلمََّ قَالَ اجْتنَِبوُا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالوُا يَا رَسُولَ اللََِّّ وَمَا هُنَّ قَالَ ال شِرْكُ بِاللََِّّ وَال سِحْرُ وَقَتلُْ النفَّْسِ التَِّي حَرَّمَ اللََُّّ إِلََّّ بِالْحَ قِ وَأكَْلُ ال رِبَا وَأكَْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتوََّلِ ي يوَْمَ الزَّحْفِ  وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلََتِ

Artinya: 
Rasulullah saw bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan”. Para sahabat bertanya “Apa dosa-dosa itu”? Rasulullah menjawab: “Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina terhadap orang-orang perempuan yang menjaga kehormatannya”. 
(HR. Bukhari, 2560).

Berkenaan dengan ini, al-Ahwadzi dalam menjelaskan bahwa maksud dari kata “Kafilul Yatim” adalah orang mengurus keperluan anak yatim dan yang mendidiknya. Dalam hadis di atas, Rasulullah memberikan dorongan agar kita mau menjamin dalam arti yang tidak hanya membesarkan secara fisik, tetapi mencakup berbagai hal yakni memelihara, membiayai kebutuhannya,  mendidiknya, dan mengatur kemaslahatannya. Orang yang mau berbuat demikian dijanjikan akan masuk surga berdampingan dengan Rasul. 

b. Bayan Tafsir 

Bayan tafsir yaitu hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap Alquran. Fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya dilakukan hadis terhadap Alquran. Bayan tafsir ini terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut: 

1. Tafsil al-Mujmal 

Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Alquran yang masih  global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum. Sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir.  Misalnya perintah salat pada beberapa ayat dalam Alquran hanya diterangkan secara global “dirikanlah salat” tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya, berapa kali sehari semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.

2. Takhshish al-`Amm  

Pada fungsi ini, hadis mengkhususkan (mengecualikan) ayat-ayat Alquran yang bersifat umum. Sebagian ulama menyebut fungsi ini dengan bayan takhshish. Contohnya adalah tentang pengecualian orang yang menerima waris.

3. Taqyid al-Muthlaq 

Maksud dari taqyid al-Muthlaq adalah hadis berfungsi membatasi kemutlakan ayat-ayat Alquran. Alquran pada sebagian ayatnya menunjukkan ketentuan yang bersifat mutlak. Pada kondisi ini, hadis setema yang spesifik berperan membatasinya, sehingga sebagian ulama menyebut fungsi ini dengan bayân taqyîd. Misalnya ketentuan tentang potong tangan bagi pencuri. Sebagai berikut :

  أ تُِيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِسَارِ ق  فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مِفْصَلِ الْكَ ُِ  

Artinya: 
“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan” .

Hadis ini memberikan batasan atas ketentuan tangan pencuri yang harus dipotong sebagai hukuman, yang disebutkan secara mutlak oleh surat alMaidah ayat 38 berikut:  

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقٍَُ فَاقۡطَعوُۡۡۤا ايَۡدِيَهُمَا جَزَاءءًۡۢ بمَِا كَسَبَا نَـكَالً  مِنَ اللِّّٰؕ  وَاللُّّٰ عَزِيۡزٌحَكِيۡمٌ 

Artinya: 
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” 


c. Bayan Tasyri’  

Yang dimaksud bayan tasyri‘ yaitu hadis berfungsi menciptakan hukum syariat  yang belum dijelaskan oleh Alquran atau dalam Alquran hanya terdapat pokok-pokoknya saja (Suparta, 2016: 64). ‘Abbas Mutawalli Hamadah menyebut fungsi ini dengan “za’id ‘ala kitab al-karim” (Hamadah, 1965: 161).  

Sebenarnya, para ulama berbeda pendapat tentang fungsi hadis sebagai dalil pada sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam Alquran. Mayoritas mereka berpendapat bahwa hadis berdiri sendiri sebagai dalil hukum. Sementara yang lain berpendapat bahwa hadis menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks Alquran. 

Contoh untuk fungsi ini di antaranya hadis tentang hukum syuf’ah, hukum merajam wanita pezina yang masih perawan, haramnya menikahi dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya) dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak (al-Siba’i, 1998: 346). Contoh lain yaitu hadis tentang zakat fitrah. sebagai berikut:

حَدَّثنََا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثنََا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَ م حَدَّثنََا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَ ر عَنْ عُمَ رَ بْنِ نَافِع  عَنْ أبَِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَُّّ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَِّّ صَلىَّ اللَُّّ عَليَْهِ وَسَلمََّ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تمَْ ر أوَْ صَاعًا مِنْ شَعِي رعَلَى الْعبَْدِ وَالْحُ رِ وَالذكََّرِ وَالْْنُْثىَ وَالصَّ غِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأمََرَ بِهَا أنَْ تؤَُدَّى قبَْلَ خُرُوجِ الناَّسِ إِلىَ الصَّلََةِ

Artinya:  
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied)". (HR. Bukhari, 1407).

Sekalipun beberapa ketentuan syariat tidak terdapat dalam Alquran atau hanya disampaikan secara kandungan umumnya saja dan kemudian digariskan oleh hadis, maka ketentuan tersebut tetap wajib untuk dilaksanakan. 

Para ulama sepakat tentang hal ini. Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa hadis-hadis Rasul saw yang merupakan tambahan terhadap Alquran, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya; dan ini bukanlah sikap Rasul mendahului Alquran, melainkan semata-mata karena perintah-Nya (al-Jauziyyah, 1955: 289).

d. Bayan Nasakh 

Hadis pada fungsi Bayan Nasakh adalah membatalkan atau menghapus ketentuan yang terdapat dalam Alquran. Para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang mengakui fungsi ini dan ada juga yang menolaknya. Berada pada barisan pertama adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiyah dan mazhab Ibn Hazm al-Zahiri. Sementara yang tergolong pada barisan kedua adalah Imam al-Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, kelompok Khawarij dan mayoritas mazhab Zahiriyyah.

Hal yang menjadi argumentasi bagi yang menerima fungsi ini adalah persepsi bahwa adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa dipraktikkan lagi; dan asumsi bahwa Sang Pembuat syariat menurunkan ayat tersebut hanya temporal saja tidak berlaku selamanya. 

Sementara bagi yang menolak, mereka tidak bisa menerima ketentuan Alquran dihapuskan oleh hadis sekalipun oleh hadis mutawattir.  Menurut golongan pertama, salah satu contoh untuk fungsi ini adalah hadis tentang wasiat berikut: 

أخَْبَرَنَا قتُيَْبٍَُ بْنُ سَعِي د قَالَ حَدَّثنََا أبَوُ عَوَانٍَََ عَنْ قتَاَدَةَ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَ ب عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غُنْ م عَنْ  عَمْرِو بْنِ خَارِجٍََ قَالَ خَطَبَ رَسُولُ اللَِّّ صَلىَّ اللَُّّ عَليَْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللََّّ قَدْ أعَْطَى كُلَّ ذِي حَ  ق حَقهَُّ وَلَ وَصِيٍََّ لِوَارِ ث

Artinya: 
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah kemudian bersabda: "Sungguh, Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya, dan tidak ada wasiat bagi pewaris." (HR. al-Nasa’i, 3581) 
Hadis ini diasumsikan menghapus ketentuan dalam Alquran surat alBaqarah ayat 180 berikut: 

كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ اِذَا حَضَرَ احََدَكُمُ الۡمَوۡتُ اِنۡ ترََكَ خَيۡرَا  ۖۖ ۚۖ اۨلۡوَصِيٍَُّ لِلۡوَالِدَيۡنِ وَالۡقَۡرَبِيۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡ ُِۚ حَقًّا عَلىَ الۡمُتقَِّيۡ نَؕ 

Artinya: 
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”




Dengan demikian, jelaslah bahwa hadis dan Alquran memiliki hubungan yang integral dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Hal ini karena keduanya berdasarkan wahyu yang datang dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya yang tidak mungkin kontradiktif antara satu dan lainnya. Hal yang membedakan hanyalah proses penyampaiannya dan periwayatannya.  

Itulah pembahasan mengenai kriteria kesahihan dan fungsi hadist terhadap Al-Quran yang mimin ambil dari Modul Al-Quran Dan Hadist Kegiatan Belajar 3 dalam kegiatan PPG Dalam Jabatan tahun 2021 di IAIN Pekalongan, Semoga bermanfaat dan mudah dipahami yah. Terima kasih semua

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kriteria Kesahihan Dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran"

Post a Comment