Macam-Macam Pendekatan Dan Metode Penafsiran Al-Quran

Pada zaman para sahabat  Nabi Muhammad saw. tidak membutuhkan suatu pendekatan atau suatu metode tertentu dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Quran, karena pada saat itu semua permasalahan atau sebuah peristiwa langsung disampaikan dan dibicarakan dengan Nabi Muhammad saw. untuk dijelaskan langsung oleh beliau.

Saat ini karena zaman kita berbeda jauh dengan zaman Nabi tersebut, maka penjelasanan atau tafsir terhadap petunjuk dalam Al-Quran semakin kita butuhkan. Sehingga dengan hal itu maka dibutuhkan seuatu ilmu yang melakukan ijtihad untuk melakukan penafsiran ayat-ayat dalam Al-Quran.

Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadis Nabi Saw maupun atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama mufassir yang lain  menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berpikir yang kemudian dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. 

Pendekatan Dan Metode Penafsiran Al-Quran

Karena itu ditinjau dari pendekatannya, penafsirannya dibagi menjadi tiga, yaitu tafsir bi al-ma’tsur , tafsir bi alra’y dan tafsir bi al-isyarah atau kemudian disebut tafsir isyari.  Berikut merupakan penjelasan mengenai pendekatan penafsiran yang digunakan untuk memperjelas dan menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Quran :

1. Pendekatan Penafsiran Alquran 

a. Tafsir bi al-Ma’tsur 

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran yang didasarkan kepada penjelasan-penjelasan yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadis maupun atsar, termasuk ayat-ayat Alquran yang lain. Oleh karena itu, tafsir bi al-ma’tsur disebut juga tafsir bi al-riwayah.  




Selain hadis Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat Al-Quran karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran dan bergaul bersama Nabi Saw. Demikian juga para ulama di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada sahabat. 

Oleh karena itu, penafsiran bi al-riwayah ini dinilai sebagai penafsiran terbaik terhadap Alquran sebab diasumsikan lebih terjaga dari kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan Al-Quran.  
Secara rinci, pendekatan tafsir bi al-ma’tsur memiliki beberapa cara dalam menafsirkan ayat Al-Quran, yaitu;  

1) Penafsiran ayat dengan ayat Alquran yang lain 

Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al-Ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al-Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain.

b) Penafsirat ayat Alquran dengan hadis Nabi Saw 

Ayat-ayat Al-Quran lebih banyak yang bersifat global (mujmal) daripada yang terperinci (tafshil). Untuk dapat memahami kandungannya tidak bisa hanya dari ayat tersebut. Oleh karena itu, di sinilah hadis Nabi Saw berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat Al-Quran. Misalnya, ayat tentang perintah salat disampikan dalam Al-Quran secara umum tanpa menyertakan penjelasan tatacaranya.

c) Penafsirat ayat Alquran dengan keterangan sahabat Nabi saw. dan tabi’in.  

Setelah mendapatkan penjelasan melalui riwayat hadis, kemudian bisa diperkaya dengan penjelasan para sahabat dan tabi’in. Keterangan dari para sahabat atau tabi’in penting karena mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana Al-Quran itu diturunkan.

b. Tafsir bi al-Ra’y atau tafsir bi al-Dirayah  

Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra’y adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompeten keilmuannya dan telah dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai mufassir.  

Istilah tafsir bi al-ra’y pada dasarnya muncul untuk membedakan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Perbedaan tersebut dalam konteks bahwa bukan berarti secara operasional dalam melakukan penafsiran Al-Quran para sahabat tidak menggunakan nalar, melainkan karena keistimewaan mereka yang tidak dimiliki oleh generasi sesudahnya (Shihab, 2013: 363). 

Sehingga sekalipun para sahabat sebagai generasi awal penerima Al-Quran menafsirkan Alquran dengan nalar dan bimbingan nabi, maka ulum al-qur’an tidak menyebutnya dengan tafsir bi al-ra’y.  
Kelebihan pendekatan ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat Al-Quran secara lebih lebar sehingga dapat memahaminya secara komprehensif. 

Kelemahaman pendekatan tafsir bi al-ra’y bisa terjadi ketika terjebak atau secara tidak sadar mufassir mengungkap petunjuk berdasarkan ayat yang bersifat parsial, sehingga dapat memberikan kesan makna Al-Quran tidak utuh dan pernyataannya tidak konsisten. Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan ini juga sangat rentan dengan subjektivitas yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu sesuai dengan Kecenderungan mufassir. 

Hal lain yang juga bisa menjadi kelemahan dari pendekatan tafsir bi al-ra’y ini adalah peluang masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang (al-Shabuni, 1999). 

Salah seorang mufassir yang menggunakan pendekatan bi al-ra’y dalam kitab tafsirnya adalah Abd al-Qasim Mahmud al-Zamakhsari. Dalam melakukan penafsirannya, ia mengemukakan pemikirannya namun tetap didukung dengan dalil-dalil hadis atau ayat Al-Quran, baik riwayat yang berhubungan dengan sabab al-nuzul atau makna ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. 

Contoh yang tampak dari tafsir dengan pendekatan bi al-ra’y adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Zilal al-Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (Q.S. 1: 4) sebagai berikut: 

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ

Artinya: 
 “Tuhan yang menguasai hari pembalasan.”   
 
Ayat ini termasuk akidah pokok yang fundamental dalam keyakinan umat Islam yakni mempercayai hari akhirat. Kata "yang menguasai atau penguasa" menunjukkan derajat kuasa yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di akhirat. Banyak orang yang mempercayai ketuhanan Allah dan percaya bahwa Ia pencipta alam semesta, namun tidak sedikit dari mereka yang tidak percaya kepada hari Pembalasan.  

Kepercayaan terhadap hari pembalasan dapat meletakkan pandangan dan hati manusia pada sebuah alam yang lain setelah tamatnya alam dunia. Pandangan ini mampu menjadi kontrol cara berkehidupan di dunia agar tidak melupakan untuk mempersiapkan diri di kehidupan setelah hari pembalasan.  

Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’y di atas menjadi jelas bahwa para mufassir tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya sendiri. Sama halnya dengan tafsir bi al-ma’tsur yang tentu tidak berdasar Riwayat an sich, melainkan tetap melibatkan penalaran. Maka dari itu, faktor yang membedakan antara tafsir bi al-ra’y dan tafsir bi al-ma’tsur adalah aspek dominannya. 
 

c. Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir Isyari 

Tafsir Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau tanda dan berarti pula menunjukkan. Sedangkan menurut istilah tafsir isyari adalah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Al-Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau zahir ayat (al-Zahabi, 1976: 352). 

Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih tafsir isyari berarti menjelaskan kandungan Al-Quran melaui takwil dengan cara menggabungkan yang tersurat dan tersirat. 

Secara lebih spesifik M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir isyari terdapat upaya penarikan makna ayat yang didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafaz ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran.  Hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh (Shihab, 2013: 373).  

Sekalipun pendekatan ini berdasarkan isyarat dari hasil perenungan spiritual, namun hanya isyarah shahihah saja yang dapat diterima. Abdul Wahid (Wahid, 2020) menyebutkan syarat-syarat diterimanya sebuah tafsir isyari sebagai berikut: 

  • Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) Al-Quran.  
  • Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’ lainnya.  
  • Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 
  • Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 
  • Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.  

2. Metode Penafsiran Alquran 

a. Metode Tahlili (Analitis) 

Metode tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat Al-Quran dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya, menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbab al-nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya.  

Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam Al-Quran karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir Al-Quran al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Quran al-Karim karya at-Tusturi. 

b. Metode Ijmali (Global) 

Metode ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan ayat Al-Quran dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat secara singkat tanpa menguraikan panjang lebar. Metode ini seperti yang lazim dilakukan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli dalam kitabnya Tafsir Jalalain dan Muhammad Farid Wajdi dalam Tafsir Al-Quran al-Azhim. 

c. Metode Muqaran (Komparatif) 

Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan redaksi tetapi maknanya berbeda; atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.   

Di samping itu, metode ini juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya. Bisa juga berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqaran dapat juga berbentuk perbandingan teks lintas kitab samawi, seperti Al-Quran dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur (Ar-Rumi, 1419 H: 60). 

d. Metode Maudhu’i (Tematik) 

Metode terakhir yang lazim digunakan dalam menafsirkan Al-Quran adalah metode maudhu’I atau metode tematik. Metode ini berupaya menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan mengambil suatu tema tertentu. 

Kelebihan metode ini mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhannya, serta memberikan pemahaman Al-Quran tentang satu tema menjadi utuh. 

Namun kekurangannya bisa jadi dalam proses inventarisasi ayat-ayat setema tidak tercakup seluruhnya, atau keliru dalam mengategorikan yang akhirnya membatasi pemahaman ayat. 

Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62) telah merinci langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran menggunakan metode tematik, sebagai berikut: 
  • Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat. 
  • Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut. 
  • Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya.  
  • Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Hal ini terkait erat dengan ilmu munasabat.   
  • Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line). 
  • Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan. 
  • Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada lahirnya bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan makna. 




Adapun di antara karya-karya tafsir yang telah menggunakan metode ini adalah karya Abbas Mahmud al-Aqqad yang berjudul al-Insan fi al-Qur’an dan al-Mar’ah fi alQur’an; dan karya Abu al-A’la Al-Maududi berjudul al-Riba fi al-Qur’an; karya al-Jashshash, berjudul Tafsir Ahkam al-Qur`an dan karya yang cukup populer dari Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtuby yang berjudul al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an.  

Demikian, jelaslah pendekatan dan metode penafsiran Al-Quran. Metode penafsiran Al-Quran dengan masing-masing kelebihan dan kelemahannya tetap merupakan upaya ilmiah besar dan mulia dalam menyuguhkan pemahaman Al-Quran. 

Tulisan ini diambil dari refrensi modul Kegiatan Belajar 3 Al-Quran Dan Hadist PPG dalam jabatan tahun 2021. Semoga bermanfaat dan mudah dipahami yah. Terima kasih semua.

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Macam-Macam Pendekatan Dan Metode Penafsiran Al-Quran"

Post a Comment