Pengertian Al-Quran, Tafsir, Takwil, Dan Terjemaah

Pengertian Al-Quran Tafsir Takwil Dan Terjemaah

A. Pengertian Al-Quran

Secara harfiah, Al-Quran berarti bacaan yang sempurna. Jumlah kosakata yang terdapat di dalamnya sebanyak 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata yang tersusun dari 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf. 

Uniknya, seluruh kosakatanya memiliki jumlah yang seimbang antara sinonim dan antonimnya. Di antaranya kata akhirat terulang sejumlah 115 kali sebanyak kata dunya; kata hayat seimbang dengan kata maut yang disebutkan sebanyak 145 kali; kata malaikat berjumlah sama dengan penyebutan kata syaithan sebanyak 88 kali; dan kata thuma’ninah (ketenangan) terulang dalam jumlah yang sama dengan kata dhiyq (kecemasan) sebanyak 13 kali. (Shihab, 2007: 4).

Adapun secara istilah, Alquran adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir melalui perantara malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushaf, ditransimisikan kepada kita secara mutawattir, bernilai ibadah bagi pembacanya dan diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. (al-Shabuni, 2003: 8). 

Definisi ini adalah definisi yang juga disampaikan mayoritas ulama, karena dianggap komprehensif dan mengandung seluruh unsur yang dapat menjelaskan Al-Quran. 




B. Jenis  Ayat-ayat Al-Quran

Dalam fungsinya sebagai hudan li al-muttaqin (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), Al-Quran memuat berbagai regulasi untuk mengatur kehidupan manusia. Hanya saja, pesan dan aturan yang disampaikan di dalam Al-Quran ada yang berupa pernyataan tegas dan adapula yang bersifat samar yang membutuhkan pemikiran mendalam. Dua bentuk pernyataan ini dalam terminologi ‘Ulum al-Quran disebut dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. 

1. Ayat-ayat Muhkamat 

Kata muhkam sebagai bentuk tunggal dari muhkamat, secara etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan atau memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih serta membedakan antara yang benar dan salah.  

Menurut Manna’ Al-Qaththan, secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna dan dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. (Al-Qaththan, 1995: 207). Jadi, ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang mengandung makna yang kokoh, jelas dan fasih. Pengertian muhkam ini menjadi sifat Al-Quran yang disebutkan dalam surat Hud ayat 1:
 
الٓ رٰٰۚتكِٰ  ٌٰاۡحك تكَِت كٰ اٰ تٰح ُٰحدُٰح تلت ك تَٰكٰلدحك تٰۡتكِٰك َّ  تَٰتك  رٰ 

Artinya: 
Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Mahabijaksana dan Mahatahu.” 

2. Ayat-ayat Mutasyabihat 

Secara harfiah, mutasyabih yang merupakan bentuk tunggal dari mutasyabihat berasal dari kata syabaha yang berarti serupa. Syubhah -bentuk nomina dari syabaha- adalah keadaan tentang satu dari dua hal yang tidak dapat dibedakan dari lainnya karena ada kemiripan di antara keduanya secara konkret atau abstrak. 

Makna ini sejalan dengan sifat kedua Al-Quran yaitu kitaban mutasyabihan sebagaimana disebut dalam surat az-Zumar ayat 23: 

تهاَللّحتندزتلٰاۡتك تستٰاكلۡتتك تث تكِٰ ِاًٰ َُّٰٰت تشاتهًاٰ دُتاتن تىٰٰٰتك تشِترُّٰ تكنٗح حَحك حٰالدتك ت تٰٰك تشۡك ت ترِٰدحهكُٰحدٰٰتتك ح حَُٰحك ح حهك تٰۡقححك ححهكٰتا لى تِٰككِتر هاَلٰلّٰتٰؕ ِٰٰتل تٰحهت هاَللّت تٰٰكهت ك تِٰ ٰٗتكٰٰد تشاحءٰٰٰٓؕ تٰۡتكٰٰ كضُّتتل هاَللّح تتاٰلت ٗ تَٰكٰتها ُٰ 

Artinya: 
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.” 

Dengan demikian, ayat-ayat mutayabihat adalah ayat-ayat yang maknanya tidak atau belum jelas dan untuk memastikannya tidak ditemukan dalil yang kuat. Dari itu, para ulama menyebut ayat-ayat mutasyabihat secara ringkas dengan ungkapan hanya Allah yang mengetahui maknanya.  

Kemudian, berkenaan dengan kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya. Bisa jadi satu ayat dikategorikan sebagai ayat muhkamat oleh sebagian ulama, sementara mutasyabihat oleh ulama lain, seperti ayat tentang Jannah dan Nar, mayoritas menggolongkannya ke dalam ayat muhkamat, sementara bagi kelompok bathiniyyun mengategorikannya ke dalam mutasyabihat karena narasi tentang surga dan neraka adalah bentuk metafora. 

Perbedaan pandangan tersebut tentu didasari atas perbedaan tentang definisi dan kriteria ayat muhkamat dan mutasyabihat. Al-Zamakhsyari menggariskan kriteria ayat-ayat yang tergolong muhkamat adalah ayat-ayat yang berhubungan erat dengan hakikat (realitas); sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang membutuhkan penelitan (tahqiqat).  

Secara lebih spesifik, al-Raghib al-Ashfahani membuat kriteria bagi ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti ayat seputar kiamat; dan ayat-ayat yang hanya bisa diketahui maknanya dengan bantuan ayat muhkamat, hadis sahih atau disiplin ilmu lain, seperti ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup. Sementara ayat-ayat muhkamat menurutnya adalah ayat-ayat yang tidak termasuk ke dalam kategori mutasyabihat.  

Sekalipun terdapat ayat yang telah terang maknanya dan di saat yang bersamaan masih terdapat yang samar maksudnya, tetapi bisa dipastikan bahwa kebenaran Al-Quran bersifat absolut atau mutlak. Kemutlakan ini akan berubah menjadi relatif ketika sudah menjadi pemahaman manusia. 

Dari itu, perlu diketahui bahwa upaya memahami kandungan Al-Quran terdapat beberapa metode, yaitu tafsir, takwil dan terjemah. Walaupun terjemah bukan merupakan metode memahami Al-Quran karena hanya sebatas pengalihbahasaan, tetapi terjemah dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengantarkan pemahaman dasar dari Al-Quran bagi orang awam. 

C. Pengertian Tafsir 

Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menerangkan) dan al-kasyf (menyingkapkan). Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut Shubhi al-Shalih yang mendefinisikan tafsir sebagai berikut :  

تعَْ َّ ٰٰحْتر حف تِٰت تهْحٰتكِٰا تاللهٰتالحتندزتلٰ تع تى تنتتلت حَٰتد َُِّٰىٰاللهٰعَٰٰۡٗس تَّٰۡ َتتات تَٰتاتنٰ تٰتاسْٰتْتراجتأْ تكِاَتت تٰۡت تكِتتٰ

Artinya: 
Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. 
 
Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh ‘Ali al-Shabuni bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Quran dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. 

Pendapat senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. 

Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi, tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafaz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafaz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafaz tersebut. 

Berdasarkan definisi di atas, menafsirkan Alquran berarti upaya mengungkap maksud dari Alquran baik ayat perayat, surat persurat maupun tema pertema yang dapat digali dari susunan bahasanya dan lafaz-lafaz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengannya. 

Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ‘Ulum al-Quran, yang meliputi asbab al-nuzul, makiyyah dan madaniyyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dan seterusnya.  

Asbab al-nuzul yang merupakan latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam memahami pesan Al-Quran. Al-Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan memahami Al-Quran hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ketika ayat turun. Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat Al-Quran memiliki riwayat asbab al-nuzul.  

Selain Asbab al-nuzul, memahami makiyyah dan madaniyyah juga patut dikuasai dalam memahami Al-Quran. Makiyyah dapat dipahami sebagai ayat-ayat yang turun di Makkah atau turun sebelum hijrah. Sementara Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah atau turun setelah hijrah. 

Terdapat beberapa manfaat penguasaan atas makiyyah dan madaniyyah dalam memahami ayat Al-Quran, yakni: 
  1. Dapat membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat Al-Quran, dikarenakan  makiyyah dan madaniyyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat Al-Quran diturunkan. 
  2. Melalui gaya bahasa yang berbeda pada ayat  makiyyah dan madaniyyah  akan membatu dalam memahami ayat Al-Quran, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. 
  3. Dengan memahami makiyyah dan madaniyyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. sebagai salah satu referensi penafsiran. 

Selanjutnya, hal yang penting dikuasai dalam menafsirkan Al-Quran adalah ilmu qiraat. Perbedaan qiraat telah terjadi sejak masa sahabat.  Qiraat sebenarnya tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan Al-Quran dari segi dialek saja. 

Namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafaz, sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah dapat mengetahui adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.

 تتلَّٰٰتْترِح حهد تٰۡد ى تٰٰطْحهرْت 

Artinya: 
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” 
 
Ayat ini oleh beberapa imam qira’at dibaca يطَّهَّرْنَ . Kata يطْهُرْنَ  berarti wanita  haid boleh didekati apabila berhenti haidnya.  Sedangkan bacaan يطَّهَّرْنَ menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.  


Pengetahuan seperti ini, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak mengenal tentang ilmu qira’at. Karena itu, pengetahuan ilmu qira’at dan ilmu-ilmu lain dari Ulum al-Quran selain ilmu Bahasa Arab dan yang lainnya menjadi kemampuan dasar bagi seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Quran agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan.

D.Pengertian Takwil 

Ta’wil yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi takwil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-ta’wil yang memiliki makna al-ruju’ atau al-’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini Al-Quran beberapa kali menggunakan kata ta’wil dalam menjelaskan maksud dari sebuah peristiwa atau kisah. 

Misalnya, pada kisah Nabi Yusuf as ayat 100 saat menjelaskan peristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepada Yusuf dinyatakan dengan kalimat hadza ta’wilu ru’yaya min qabl qad ja’ala rabbi haqqan (Ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan). 

Demikian juga pada surat al-Kahfi ayat 78 tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat sa’unabbi’uka bita’wili malam tastathi‘ alaihi sabran (Aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya). 

Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam Alquran, maka secara terminologi al-Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai berikut:
  
ترْ حفٰالَدفْ تظٰ تعْۡ تَْٰنتاهحٰالظاتهترٰإل تى تَْٰنىً تْٰٰٰۡتتَححٰإتاكِات الَحٰۡتت حلٰالتتي تٰٰراه حَٰتاتۡاًٰ
ِالتكِٰا تٰۡالسُّندة 
 
Mengalihkan lafaz dari maknanya yang tampak kepada makna tersembunyi yang dikandung olehnya selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan Al-Quran dan al-sunnah (Al-Jurjani, 2004: 46).   

Takwil berbeda dengan tafsir sekalipun keduanya menjelaskan maksud dari sebuah pernyataan dalam Al-Quran. Tafsir pada praktiknya menjelaskan makna zahir sementara takwil mengungkap makna batin. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam memahami kalimat يخرج الحي من الميت (mengeluarkan kehidupan dari yang mati). Penggalan ayat 19 dari surat al-Rum bisa dipahami dalam makna mengeluarkan seekor ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. 

Tetapi, jika dipahami dengan takwil, maka bisa bermakna mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang pandai dari kebodohan (Al-Jurjani, 2004: 46).   

Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti juga melakukan kegiatan tafsir. Maka, takwil pada fungsinya sebagai tafsir yang dapat memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Al-Quran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang, juga tafsir pada praktiknya sebagai penjelas, keduanya adalah metode penting yang perlu dilakukan dalam memahami makna Al-Quran.  

Namun, apakah seluruh ayat-ayat mutasyabihat boleh atau harus ditakwil, Quraish Shihab menunjukkan bahwa QS. Ali Imran (3) ayat 7 yang telah disampaikan sebelumnya menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihat (Shihab, 1995: 91). 

Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh ditakwil, itupun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang berhak melakukannya. 

Oleh karena takwil merupakan pekerjaan yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab karena takwil tidak berdasar ra’yu (pendapat/akal) saja. 

Selanjutnya, terkait perbedaan cakupan antara tafsir dan takwil, Al-Raghib alAshfahani dalam kitab Mufradat Alfadzi al-Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil (Al-Ashfahani, 2009: 636). 

Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya (Shihab, 1995: 91). 

Penakwilan terhadap ayat Al-Quran dilakukan secara ketat berdasarkan kaidah dan dasar-dasar keilmuan. Jika kita menyetujui bahwa semua ayat-ayat mutasyabihat boleh ditakwil, maka ayat-ayat yang ditakwil tidak hanya teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu, melainkan dapat berkembang selama makna yang digagas tidak keluar dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.  

Sebagai contoh, Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (طيرا) pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thara–yathiru (terbang) dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan. Hal ini sah karena tidak keluar dari makna dasar kata tersebut. 

Contoh penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah ayat 255. Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan menakwilkannya dengan kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. 

Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi. 

Namun berbeda dengan ayat yang berbicara tentang zat Allah yang tercantum pada surat al-Nur الله نورالسماوات والارض (Allah adalah cahaya langit dan bumi). Dimaknai demikian dengan tujuan agar zat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: ليس كمثله شيئ... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya). (QS. Asy-Syura [42]: 11).

Takwil yang hanya berdasarkan akal saja tanpa mempertimbangkan aspek kebahasaan hukumnya terlarang, karena memungkinkan maksud yang digagas keluar dari makna dasarnya. Dari itu, ulama salaf lebih memilih bersikap tafwidh yakni menyerahkan sepenuhnya maknanya kepada Allah saat memaknai ayat-ayat mutasyabihat dengan ungkapan wallahu a’lam bi muradi bih (Allah lebih tahu maksudnya). 

E. Pengertian Terjemah 

Terjemah bukan termasuk metode memahami Al-Quran seperti halnya tafsir dan takwil, ia hanya bentuk pengalihbahasaan. Secara etimologi, terjemah diambil dari bahasa Arab dari kata tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman (Didawi, 1992: 37). 

Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain (Manzhur: 66). Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Selain itu, berarti pula memindahkan lafal dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain.  

Adapun secara terminologi, terjemah didefinisikan sebagai berikut: 

التعَْبِيرُ عَنْ مَعْنىَ كَلََمٍ فِى لغَُةٍ بِكَلَمٍ اخَرٍ مِنْ  لُغَةٍ اخُْرَى مَعَ الوَفَاءِ بِجَمِيعِ مَعَانِيهِ 
وَمَقاصِدِه 

Artinya
Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut. 
 
Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Al-Quran adalah memindahkan bahasa Al-Quran ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga dapat memahami pesan dasar dari kitab Allah SWT. 

Penerjemahan dibagi menjadi dua, yaitu terjemah harfiyyah dan terjemah tafsiriyyah. Terjemah harfiyyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 

Terjemah tafsiriyah atau terjemah ma’nawiyyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. 

Membaca terjemah sebuah ayat Al-Quran dapat membantu pembaca untuk memahami ayat tersebut. Namun demikian, membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk bahasa Al-Quran seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman terhadap pembacaan Al-Quran terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya: 
  1. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat atau utuh ke dalam bahasa lain, termasuk Al-Quran. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata; anta dan anti (mudzakkar dan muannats) dengan terjemah kamu, anda atau engkau tidak dapat mewakili secara utuh makna dari teks. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia. 
  2. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan. 
  3. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik bahasa yang berbeda. 

Karena itu, apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam penerjemahan Al-Quran belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-ayatnya. Apalagi bahwa Al-Quran itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya, maka dapat dipastikan sebuah terjemahan Al-Quran tidak mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. 




Namun demikian, bukan berarti terjemah Al-Quran tidak penting, karena dengan adanya terjemah Al-Quran dapat membantu untuk melakukan tadabbur (renungan) atau paling tidak mengetahui pesan dasar Al-Quran khususnya bagi bangsa ‘ajam (non-Arab) yang tidak memiliki kemampuan bahasa Arab secara baik. 

Itulah pembahasan megenai Al-Quran dan metode cara memahaminya yang mimin ambil dari modul Al-Quran Dan Hadist Kegiatan Belajar 1 PPG Dalam Jabatan Guru PAI Tahun 2021. Semoga bermanfaat dan mudah untuk dipahami. Semangat untuk kalian yang sedang menuntut ilmu 

Advertisement

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian Al-Quran, Tafsir, Takwil, Dan Terjemaah"

Post a Comment